Jumat, 29 Januari 2010

Bukan “aku” “kamu”, Tetapi, “kita”

Semua orang melihat anda dan pasangan anda sebagai pasangan “impian”. Anda dan pasangan anda terlihat sebagai pasangan yang “serasi”. Akan tetapi, tiba-tiba, anda merasa bahwa anda lebih sering bertengkar dan hubungan anda tidaklah seperti yang dianggap oleh orang lain yang melihat kebersamaan anda. Kemudian, anda merasa jengkel dan tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi. Mungkin hasil penelitian dari UC Berkeley bisa membantu anda.

Sebuah studi baru dari UC Barkeely mengungkapkan bahwa pasangan suami instri yang menggunaan bahasa “we-ness” (kita) lebih baik dalam mengatasi konflik dibandingkan dengan yang tidak menggunakannya.

Peneliti dari UC Berkeley menganalisa percakapan diantara 154 orang pada masa dewasa madya dan pasangan yang lebih tua (masa dewasa akhir) mengenai titik ketidasetujuan dalam pernikahan mereka dan menemukan bahwa mereka yang menggunakan kata ganti kita atau kami (“we”, “our”, atau “us”) besikap lebih positif terhadap satu sama lain dan menunjukkan sedikit stress psikologis.

Belawanan dengan hal tersebut, pasangan yang menekankan “keterpisahan” mereka dengan menggunkana kata ganti seperti saya, aku, dan kamu (“I”, “me”, “you”) kurang puas terhadap pernikahan mereka. Hal ini khusunya benar untuk pasangan yang lebih tua. Mereka yang menggunakan kata ganti yang menujukkan “keterpisahan” mereka berhubungan erat dengan pernikahan yang tidak bahagia.

Lanjutnya, studi menemukan bahwa pasangan pada masa dewasa akhir diidentifikasikan lebih menganggap diri mereka sebagai “kita” dibandingkan dengan pasangan pada masa dewasa madya, menunjukkan bahwa menghadapai masalah dan mengatasi tantangan bertahun-tahun, termasuk membesarkan keluarga, mungkin memberikan pasangan rasa identitas kebersamaan yang besar.

Sumber :

www.sciencedaily.com, “ Couples Who Say 'We' Do Better at Resolving Conflicts”, diunduh pada 30 Januari 2010 pukul 01.03

www.photos-funny-news.blogspot.com

Intonasi Suara dalam Berbicara berkaitan dengan Empati

Mampu untuk merubah intonasi dalam berbicara mungkin merupakan tanda dari empati yang besar. Benarkah ?

Sebuah studi menemukan bahwa orang yang menggunakan bagian otak yang sama untuk memroduksi dan memahami intonasi dalam berbicara.

Banyak studi menyakinkan bahwa orang belajar dengan meniru (imitating) melalui bagian otak yang disebut mirror neuron. Studi ini menunjukkan untuk pertama kali bahwa prosody juga bekerja pada mirror neuron. Prosody adalah irama, penekanan, dan intonasi bicara. Prosody merefleksikan berbagai macam ciri pembicara atau keistimewaan ungkapan. Prosody juga merefleksikan keadaan emosional pembicara, apakah sebuah ungkapan adalah pernyataan, pertanyaan perintah,dsb. Individu yang memiliki skor lebih tinggi pada tes terstandar mengenai empati, terdapat lebih banyak aktivitas pada bagian otak mereka yang memroduksi prosody.

Menurut Lisa Aziz-Zadeh and Tong Sheng of USC, dan Anahita Gheytanchi of the Pacific Graduate School of Psychology, peningkatan dalam kemampuan berempati behubungan dengan kemampuan untuk menerima prosody sebaik aktivitas dalam bagian motorik otak tersebut. Menurut Aziz-Zadeh, prosody adalah salah satu cara utama kita berkomunikasi satu sama lain.

Para peneliti tersebut meneliti otak 20 sukarelawan saat mereka mendengar dan memproduksi prosody melalui frase bahagia, sedih, dan frase tidak bermakna “da da da da da”.

Area Broca mereka teaktivasi saat sukarelawan mendengar frase saat mendengar frase dan saat mereka mengulanginya. Sukarelawan dengan paling banyak aktivitas pada area Broca cenderung untuk mendapatkan skor yang tinggi pada pengukuran empati. Mereka juga terbiasa menggunakan prosodi saat berbicara di kehidupan sehari-hari.

Masih belum jelas apakah empati menyebabkan aktivitas prosody atau apakah dengan terbiasa menggunakan prosody membantu mengenmbangkan empati.

Sumber :

www.sciencedaily.com, “Music in Speech Equals Empathy in Heart?”, diunduh pada 30 Januari 2010 pukul 00.59

www.wikipedia.com

Rabu, 27 Januari 2010

Mixed-handed

Di kehidupan sehari-hari, lazim kita melihat individu yang menggunakan salah satu tangannya untuk beraktivitas, entah itu tangan kanan atau tangan kiri. Terdapat perdebatan mengenai penggunaan salah satu tangan, mulai dari penggunaan tangan kanan lebih ”sopan” dibandingkan tangan kiri dsb. Lalu, pernahkan anda pernah melihat orang yang mampu menggunakan kedua tangannya dalam beraktivitas sama baiknya ?. Apa yang menyebabkannya ?. Apa dampaknya ?.

Anak yang mixed-handed atau ambidextrous lebih cenderung untuk memiliki masalah kesehatan mental, bahasa, dan yang berkaitan dengan pendidikan pada masa anak-anak dibandingkan anak yang menggunakan tangan kanan atau kidal. Hal tersebut didasarkan kepada suatu studi yang dilakukan para peneliti dari Imperial College London dan institusi di eropa lainnya. Sekitar satu diantara setiap 100 orang merupakan orang yang mixed-handed. Studi yang dilakukan pada hampir 8000 anak, 87 dianatara mereka adalah mixed handed dan ditemukan bahwa anak yang mixed-handed dan berusia 7-8 tahun memiliki kemungkinan 2 kali mengalami kesulitan dengan bahasa dan performa nya buruk di sekolah dibandingkan dengan anak yang menggunakan tangan kanan.

Saat mereka mencapai umur 15 atau 16, remaja yang mixed-handed juga beresiko 2 kali lebih besar untuk memliliki gejala attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Mereka juga cenderung untuk memiliki gejala yang kuat ADHD dibandingkan dengan anak yang aktif menggunakan tangan kanan tangan. Diperkirakan ADHD terjadi sebanyak 3-9 persen anak usia sekolah dan anak muda. Remaja yang mixed-handed juga dilaporkan memiliki kesulitann yang lebih besar dengan bahasa dibandingkan dengan anak yang aktif menggunakan tangan kanan maupun kidal.

Tidak begitu jelas apa yang membuat orang menjadi mixed-handed (aktif menggunakan tangan kanan dan kiri), tetapi diketahui bahwa handedness dihubungkan dengan hemisfer didalam otak. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa seseorang yang lebih memilih menggunkan tangan kanan, hemisfer kiri di otaknya lebih dominant. Sejumlah peneliti berpendapat bahwa mixed-handed mengindikasikan pola dominan yang tidak seperti terlihat pada kebanyakan orang pada umumnya dimana hemisfer mana yang lebih dominant tidak terlalu jelas. Satu penelitian menyebutkan bahwa ADHD dihubungkan dengan pemfungsian otak kanan yang lemah yang dapat membantu menjelaskan mengapa beberapa siswa mixed-handed dalam penelitian memiliki gejala ADHD.

Dr Alina Rodriguez, lead researcher pada studi yang dilakukan School of Public Health at Imperial College London mengungkapkan bahwa mixed-handedness menarik. Lanjutnya, kita tidak tahu kenapa seseorang lebih memilih untuk menggunakan kedua tangannya disaat kebanyakan orang menggunakan salah satu tangan saja. Menurutnya, terdapat perbedaan dalam otak yang menyebabkan munculnya mixed-handedness, tetapi butuh penelitian lebih lanjut lagi

Sumber :

www.sciencedaily.com, “Mixed-Handed Children More Likely to Have Mental Health, Language and Scholastic Problems, Study finds”, diunduh pada tanggal 27 Januari 2010, pukul 23.04

Selasa, 26 Januari 2010

Agar Kalian Merenung...

Kalah dari Laos 2-0 di Sea Games ?.

Timnas Junior yang dikirim ke Uruguay "gitu-gitu" aja ?...

Tuan rumah PD 2022 ?..

Memangnya bakal ikut Asian Games ?...

"ancaman" dari ketua KONI bahwa sepakbola belum tentu bisa masuk ke Asian Games bersama kontingen Indonesia yang lain merupakan tindakan yang patut "diacungi" jempol. Penulis sependapat dengan ibu ketua KONI. Dari dulu PSSI mendapat "hak istimewa" dengan terus ikut Asian games. Tapi hasil yang dibawa apa ?.. NIHIL, bukan.

Penulis juga merupakan pecinta sepakbola baik nasional mapun internasional. Bosan juga dengan prestasi timnas. gitu-gitu aja cenderung ancur. Saya ingat dengan kata-kata seorang pengurus atletik nasional yang mengungkapkan kekecewaannya dengan "hak istimewa" PSSI. Menurutnya, ia kesulitan untuk mengembangkan atletik nasional karena mayoritas dana tersedot ke permainan bola sepak ini.

Penulis juga mengkhawatirkan masalah kerusuhan, khusunya bonek dengan warga. Hmmm, penulis rasa sepakbola bisa-bisa memecah bangsa nantinya.

tidak malukah kalian dengan sengsaranya rakyat dan kalian dengan "seenaknya" mengontrak pemain asing dengan biaya yang bisa digunakan untuk membangun sekolah, membangun perpustakaan, dsb. kalau memang belum mampu, sebaiknya klub 2 nasional mengontral pemain lokal saja.

semoga "hukuman" dari ketua KONI terealisasikan... Semuanya agar :

Kalian merenung...

Seperti Liga Italia...

Sepakbola menjadi agama yang kedua, mungkin, bagi sebagian besar rakyat italia. Mungkin, kita lebih mengenal para attacante, portiere, centrocampista, difensore yang ada di italia dibandingkan dengan pemerintahan Italia sendiri. Sepakbola italia terkenal dengan tuntutannya terhadap hasil akhir pertandingan yang positif, yaitu MENANG. kalau tidak salah, dalam buku yang ditulis oleh M. Kusnaeni, para tifosi mempunyai suatu semboyan "berikan kami kemenangan, kami tidak butuh permainan cantik". Hal tersebut juga diiyakan oleh seorang Jose Mourinho.

Penulis merasa, pendidikan kita sudah layaknya sepakbola negeri Pizza yang lebih menghargai hasil. Mengapa begitu ?

Dalam satu perjalanan didalam sebuah angkutan kota, penulis mendengar obrolan siswi-siswi SMP kelas 3, sepertinya demikian. mereka menceritakan "perintah" guru mereka. Guru mereka memerintahkan kepada seluruh siswa yang merasa tidak diberi contekan oleh temannya yang pintar melaporkan temannya yang pintar tersebut ke dirinya. WAOW !!!. LUAR BIASA. Dengan mudahnya yang "tidak pintar" bisa mendapatkan akses jawaban teman "yang pintar" berdasarkan "doktrin" gurunya. Bagaimana jika, anak yang pintar itu sebenarnya tidak tidak berintelegensi tinggi tapi berkat kerja kerasnya ia menjadi anak yang berpresrasi ? Adilkah hal itu untuk anak yang sudah bekerja keras untuk kesuksesannya sendiri ?. Kerja kerasnya, jika pendapat penulis benar, tidak dihargai sama sekali.

Tifosi liga italia memang punya semboyan yang menjunjung hasil dibandingkan proses. Meskipun demikian, mereka masih bisa jadi juara dunia. Pemain yang meruput disana masih di incar dengan harga tinggi oleh tim-tim eropa.

Bagaimana dengan pendidikan di Indonesia ?. dengan "prinsip" yang kurang lebih sama apakah hasil yang diberikan sama juga ?.

apkah hal ini membuktikan adanya kegagalam dalam pembentukan moral yang baik di masyarakat yang bisa memicu munculnya banyaknya kejahatan, seperti penjelasan dalam salah satu teori kriminologi ?.

Sabtu, 23 Januari 2010

Setiap Orang itu Unik

Hasil penelitian berikut mungkin bisa menjelaskan hal tersebut lebih lanjut.

Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dolores Albaraccin (profesor dibidang psikologi pada Universitas Illinois) dan William Hart (Universitas Florida) menhasilkan suatu kesimpulan yaitu 2 siswa mungkin merespon dengan cara yang cukup berbeda terhadap nasihat yang diberikan oleh gurunya bahwa mereka harus berusaha keras untuk keunggulan.

Seseorang mungkin terpacu untuk mencoba dengan lebih keras, dimana yang lainnya menjadi kurang termotivasi.

Mereka yang menghargai keunggulan (excellence) dan kerja keras umumnya akan beekrja lebih baik pada tugas-tugas khusus saat mereka diingatkan mengenai nilai yang mereka anut. Tetapi, saat suatu tugas dipresentasikan sebagai menyenangkan, peneliti melaporkan, individu tersebut sering bekerja lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang kurang termotivasi untuk berprestasi.

Penelitian tersebut juga menyarankan bahwa mereka yang “tidak tertarik secara kronis terhadap prestasi” (chronically uninterested in achievement) tidak menunjukkan hasrat untuk melakukan sesuatu dengan buruk. Prof. Albraccin mengungkapkan bahwa respon berbeda yang mereka tunjukkan mungkin secara sederhana merefleksikan fakta bahwa mereka memiliki tujuan-tujuan yang berbeda.

Pola pikir kompetitif, pola pikir prestasi menjadi de-motivator yang besar bagi orang yang tidak menghargao keunggulan sebesar mereka menghargai kesejahteraan, menurut Prof Albraccin. Lanjutnya, alasan dibalik ketidakinginan mereka untuk melakukan sesuatu dengan baik karena mereka ingin melakukan hal yang lain, mereka ingin menikmati hidup mereka sendiri, suatu tujuan yang tidak buruk.

Dalam 4 penelitian, para peneliti tersebut mengevaluasi bagaimana sikap partisipan terhadap prestasi yang mereka sebut “motivasi berprestasi kronis” (chronic achievement motivation) memengaruhi performa mereka pada berbagai macam tugas.

Para peneliti menemukan bahwa mereka dengan motivasi berprestasi tinggi bekerja lebih baik pada suatu tugas saat mereka diberikan “subconcious priming” ( kata pada layar komputer yang ditayangkan sekilas, sebagai contoh, yang terlihat terlalu singkat untuk diperhatikan secara sadar) yang berhubungan dengan kemenangan, kemahiran, atau keunggulan. Mereka dengan motivasi berprestasi yang rendah bekerja denag lebih buruk pada kondisi yang sama. Saat diberikan suatu pilihan, mereka dengan motivasi berprestasi tinggi lebih cenderung untuk kembali mengerjakan interrupted task, seperti puzzle mencari kata, yang kepada mereka dijelaskan bahwa tugas tersebut menguji kemampuan penalaran verbal mereka, dibandingkan rekan sebaya, yang cenderung untuk berpindah ke tugas yang dirasakan menyenangkan.

Tapi dalam suatu studi akhir, peneliti menemukan bahwa mereka dengan motivasi berprestasi tinggi bekerja lebih buruk pada word-search puzzle saat mereka diterangkat bahwa kegiatan yang dilakukan menyenangkan dan mereka telah diberikan primes prestasi seperti “excel”, “compete” atau “dominate”. Peserta lain yang tidak termotivasi untuk berprestasi melakukan kegiatan tersebut lebih baik pada kondisi yang sama.

Temuan ini juga menyarankan bahwa primes prestasi menghambat hasrat untuk bersenang-senang pada mereka yang termotivasi untuk berprestasi. Akan tetapi, mereka yang kurang memiliki memotivasi berprestasi, petunjuk yang sama terlihat memperkuat hasrat dan kemampuan mereka untuk mengerjakan tugas yang terlihat menyenangkan.

Sumber :

Diunduh dari “www.sciencedaily.com”, 21 Januari 2010 pukul 20.10

Sabtu, 16 Januari 2010

Jadi pengangguran memang tidak enak

Para pensiunan yang berpindah dari full-time work ke pekerjaan sementara atau part-time job mengalami sedikit penyakit dan mampu berfungsi lebih baik dari hari ke hari dibandingkan orang yang berhenti bekerja sama sekali. Hal tersebut diungkapkan dari hasil penelitian yang dilakukan di Amerika.
Penulis hasil penelitian merujuk perpindahan diantara karir dan pensiun secara penuh disebut "bridge employment" yang dapat berupa part-time job, self-employment or a temporary job. Hasil penelitian ini dilaporkan dalam Journal of occupational health psychology yang dipublikasikan oleh APA.
Menurut asisten penulis hasil penelitian, Mo Wang, PhD, dari Universitas Maryland, akan lebih banyak ditemui orang yang mempertimbangkan karyaman pasca pensiun (post-retirement employment) dan hal tersebut menunjukkan secara sekilas keuntungan bridge employement.
Dalam studi yang dilakukannya, Wang dkk mencari data pada national health and retirement yang disponsori oleh national institute on aging. Mereka menggunakan data dari 12.189 partisipan yang berumur antara 51-61 tahun di awal penelitian. Patisipan kemudian diinterview setiap 2 tahun selama 6 tahun periode yang diawali pada tahun 1992 mengenai kesehatan, keuangan, riwayat peekrjaan, dan bekerja atau pensiun. Dalam usaha untuk menilai kesehatan responden, seperti tekanan darah tinggi, diabetes, kanker, penyakit paru-paru, penyakit jantung, stroke , dan masalah psychiatric. Mereka tidak hanya mengontrol kesehatan mental dan fisik tetapi juga usia, sex, tingkat pendidikan, dan kesejahteraan finansial keseluruhan. Hasil penelitian menunjukkan pensiunan yang melanjutkan bekerja dalam bridge job mengalami lebih sedikit penyakit dan lebih sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan mereka yang pensiun secara penuh.
Para partisipan menjawab kuesioner kesehatan mental dasar. Hasilnya menunjukkan bahwa orang yang memilik pekerjaan post-retirement yang berhubungan dengan karir mereka sebelumnya melaporkan kondisi kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan yang pensiun penuh. akan tetapi, peningkatan kesehatan mental ini tidak ditemukan diantara orang yang bekerja diluar bidang karir mereka pasca pensiun. Penulis hasil penelitian mengatakan bahwa hal tersebut karena mereka yang mengambil pekerjaan di luar bidang karir mereka mungkin membutuhkan proses adaptasi dengan lingkungan kerja yang berbeda atau kondisi pekerjaan yang berbeda., dan oleh karena itu, mereka menjadi stress. Wang, juga menemukan bahwa pensunan dengan masalah finansial lebih cenderung untuk bekerja di dalam bidang yang berbeda setelah mereka resmi pensiun.
Sumber :
www.apa.org, "people who work after retiring enjoy better health, according to national study"