Jumat, 29 Januari 2010

Bukan “aku” “kamu”, Tetapi, “kita”

Semua orang melihat anda dan pasangan anda sebagai pasangan “impian”. Anda dan pasangan anda terlihat sebagai pasangan yang “serasi”. Akan tetapi, tiba-tiba, anda merasa bahwa anda lebih sering bertengkar dan hubungan anda tidaklah seperti yang dianggap oleh orang lain yang melihat kebersamaan anda. Kemudian, anda merasa jengkel dan tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi. Mungkin hasil penelitian dari UC Berkeley bisa membantu anda.

Sebuah studi baru dari UC Barkeely mengungkapkan bahwa pasangan suami instri yang menggunaan bahasa “we-ness” (kita) lebih baik dalam mengatasi konflik dibandingkan dengan yang tidak menggunakannya.

Peneliti dari UC Berkeley menganalisa percakapan diantara 154 orang pada masa dewasa madya dan pasangan yang lebih tua (masa dewasa akhir) mengenai titik ketidasetujuan dalam pernikahan mereka dan menemukan bahwa mereka yang menggunakan kata ganti kita atau kami (“we”, “our”, atau “us”) besikap lebih positif terhadap satu sama lain dan menunjukkan sedikit stress psikologis.

Belawanan dengan hal tersebut, pasangan yang menekankan “keterpisahan” mereka dengan menggunkana kata ganti seperti saya, aku, dan kamu (“I”, “me”, “you”) kurang puas terhadap pernikahan mereka. Hal ini khusunya benar untuk pasangan yang lebih tua. Mereka yang menggunakan kata ganti yang menujukkan “keterpisahan” mereka berhubungan erat dengan pernikahan yang tidak bahagia.

Lanjutnya, studi menemukan bahwa pasangan pada masa dewasa akhir diidentifikasikan lebih menganggap diri mereka sebagai “kita” dibandingkan dengan pasangan pada masa dewasa madya, menunjukkan bahwa menghadapai masalah dan mengatasi tantangan bertahun-tahun, termasuk membesarkan keluarga, mungkin memberikan pasangan rasa identitas kebersamaan yang besar.

Sumber :

www.sciencedaily.com, “ Couples Who Say 'We' Do Better at Resolving Conflicts”, diunduh pada 30 Januari 2010 pukul 01.03

www.photos-funny-news.blogspot.com

Intonasi Suara dalam Berbicara berkaitan dengan Empati

Mampu untuk merubah intonasi dalam berbicara mungkin merupakan tanda dari empati yang besar. Benarkah ?

Sebuah studi menemukan bahwa orang yang menggunakan bagian otak yang sama untuk memroduksi dan memahami intonasi dalam berbicara.

Banyak studi menyakinkan bahwa orang belajar dengan meniru (imitating) melalui bagian otak yang disebut mirror neuron. Studi ini menunjukkan untuk pertama kali bahwa prosody juga bekerja pada mirror neuron. Prosody adalah irama, penekanan, dan intonasi bicara. Prosody merefleksikan berbagai macam ciri pembicara atau keistimewaan ungkapan. Prosody juga merefleksikan keadaan emosional pembicara, apakah sebuah ungkapan adalah pernyataan, pertanyaan perintah,dsb. Individu yang memiliki skor lebih tinggi pada tes terstandar mengenai empati, terdapat lebih banyak aktivitas pada bagian otak mereka yang memroduksi prosody.

Menurut Lisa Aziz-Zadeh and Tong Sheng of USC, dan Anahita Gheytanchi of the Pacific Graduate School of Psychology, peningkatan dalam kemampuan berempati behubungan dengan kemampuan untuk menerima prosody sebaik aktivitas dalam bagian motorik otak tersebut. Menurut Aziz-Zadeh, prosody adalah salah satu cara utama kita berkomunikasi satu sama lain.

Para peneliti tersebut meneliti otak 20 sukarelawan saat mereka mendengar dan memproduksi prosody melalui frase bahagia, sedih, dan frase tidak bermakna “da da da da da”.

Area Broca mereka teaktivasi saat sukarelawan mendengar frase saat mendengar frase dan saat mereka mengulanginya. Sukarelawan dengan paling banyak aktivitas pada area Broca cenderung untuk mendapatkan skor yang tinggi pada pengukuran empati. Mereka juga terbiasa menggunakan prosodi saat berbicara di kehidupan sehari-hari.

Masih belum jelas apakah empati menyebabkan aktivitas prosody atau apakah dengan terbiasa menggunakan prosody membantu mengenmbangkan empati.

Sumber :

www.sciencedaily.com, “Music in Speech Equals Empathy in Heart?”, diunduh pada 30 Januari 2010 pukul 00.59

www.wikipedia.com

Rabu, 27 Januari 2010

Mixed-handed

Di kehidupan sehari-hari, lazim kita melihat individu yang menggunakan salah satu tangannya untuk beraktivitas, entah itu tangan kanan atau tangan kiri. Terdapat perdebatan mengenai penggunaan salah satu tangan, mulai dari penggunaan tangan kanan lebih ”sopan” dibandingkan tangan kiri dsb. Lalu, pernahkan anda pernah melihat orang yang mampu menggunakan kedua tangannya dalam beraktivitas sama baiknya ?. Apa yang menyebabkannya ?. Apa dampaknya ?.

Anak yang mixed-handed atau ambidextrous lebih cenderung untuk memiliki masalah kesehatan mental, bahasa, dan yang berkaitan dengan pendidikan pada masa anak-anak dibandingkan anak yang menggunakan tangan kanan atau kidal. Hal tersebut didasarkan kepada suatu studi yang dilakukan para peneliti dari Imperial College London dan institusi di eropa lainnya. Sekitar satu diantara setiap 100 orang merupakan orang yang mixed-handed. Studi yang dilakukan pada hampir 8000 anak, 87 dianatara mereka adalah mixed handed dan ditemukan bahwa anak yang mixed-handed dan berusia 7-8 tahun memiliki kemungkinan 2 kali mengalami kesulitan dengan bahasa dan performa nya buruk di sekolah dibandingkan dengan anak yang menggunakan tangan kanan.

Saat mereka mencapai umur 15 atau 16, remaja yang mixed-handed juga beresiko 2 kali lebih besar untuk memliliki gejala attention deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Mereka juga cenderung untuk memiliki gejala yang kuat ADHD dibandingkan dengan anak yang aktif menggunakan tangan kanan tangan. Diperkirakan ADHD terjadi sebanyak 3-9 persen anak usia sekolah dan anak muda. Remaja yang mixed-handed juga dilaporkan memiliki kesulitann yang lebih besar dengan bahasa dibandingkan dengan anak yang aktif menggunakan tangan kanan maupun kidal.

Tidak begitu jelas apa yang membuat orang menjadi mixed-handed (aktif menggunakan tangan kanan dan kiri), tetapi diketahui bahwa handedness dihubungkan dengan hemisfer didalam otak. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa seseorang yang lebih memilih menggunkan tangan kanan, hemisfer kiri di otaknya lebih dominant. Sejumlah peneliti berpendapat bahwa mixed-handed mengindikasikan pola dominan yang tidak seperti terlihat pada kebanyakan orang pada umumnya dimana hemisfer mana yang lebih dominant tidak terlalu jelas. Satu penelitian menyebutkan bahwa ADHD dihubungkan dengan pemfungsian otak kanan yang lemah yang dapat membantu menjelaskan mengapa beberapa siswa mixed-handed dalam penelitian memiliki gejala ADHD.

Dr Alina Rodriguez, lead researcher pada studi yang dilakukan School of Public Health at Imperial College London mengungkapkan bahwa mixed-handedness menarik. Lanjutnya, kita tidak tahu kenapa seseorang lebih memilih untuk menggunakan kedua tangannya disaat kebanyakan orang menggunakan salah satu tangan saja. Menurutnya, terdapat perbedaan dalam otak yang menyebabkan munculnya mixed-handedness, tetapi butuh penelitian lebih lanjut lagi

Sumber :

www.sciencedaily.com, “Mixed-Handed Children More Likely to Have Mental Health, Language and Scholastic Problems, Study finds”, diunduh pada tanggal 27 Januari 2010, pukul 23.04

Selasa, 26 Januari 2010

Agar Kalian Merenung...

Kalah dari Laos 2-0 di Sea Games ?.

Timnas Junior yang dikirim ke Uruguay "gitu-gitu" aja ?...

Tuan rumah PD 2022 ?..

Memangnya bakal ikut Asian Games ?...

"ancaman" dari ketua KONI bahwa sepakbola belum tentu bisa masuk ke Asian Games bersama kontingen Indonesia yang lain merupakan tindakan yang patut "diacungi" jempol. Penulis sependapat dengan ibu ketua KONI. Dari dulu PSSI mendapat "hak istimewa" dengan terus ikut Asian games. Tapi hasil yang dibawa apa ?.. NIHIL, bukan.

Penulis juga merupakan pecinta sepakbola baik nasional mapun internasional. Bosan juga dengan prestasi timnas. gitu-gitu aja cenderung ancur. Saya ingat dengan kata-kata seorang pengurus atletik nasional yang mengungkapkan kekecewaannya dengan "hak istimewa" PSSI. Menurutnya, ia kesulitan untuk mengembangkan atletik nasional karena mayoritas dana tersedot ke permainan bola sepak ini.

Penulis juga mengkhawatirkan masalah kerusuhan, khusunya bonek dengan warga. Hmmm, penulis rasa sepakbola bisa-bisa memecah bangsa nantinya.

tidak malukah kalian dengan sengsaranya rakyat dan kalian dengan "seenaknya" mengontrak pemain asing dengan biaya yang bisa digunakan untuk membangun sekolah, membangun perpustakaan, dsb. kalau memang belum mampu, sebaiknya klub 2 nasional mengontral pemain lokal saja.

semoga "hukuman" dari ketua KONI terealisasikan... Semuanya agar :

Kalian merenung...

Seperti Liga Italia...

Sepakbola menjadi agama yang kedua, mungkin, bagi sebagian besar rakyat italia. Mungkin, kita lebih mengenal para attacante, portiere, centrocampista, difensore yang ada di italia dibandingkan dengan pemerintahan Italia sendiri. Sepakbola italia terkenal dengan tuntutannya terhadap hasil akhir pertandingan yang positif, yaitu MENANG. kalau tidak salah, dalam buku yang ditulis oleh M. Kusnaeni, para tifosi mempunyai suatu semboyan "berikan kami kemenangan, kami tidak butuh permainan cantik". Hal tersebut juga diiyakan oleh seorang Jose Mourinho.

Penulis merasa, pendidikan kita sudah layaknya sepakbola negeri Pizza yang lebih menghargai hasil. Mengapa begitu ?

Dalam satu perjalanan didalam sebuah angkutan kota, penulis mendengar obrolan siswi-siswi SMP kelas 3, sepertinya demikian. mereka menceritakan "perintah" guru mereka. Guru mereka memerintahkan kepada seluruh siswa yang merasa tidak diberi contekan oleh temannya yang pintar melaporkan temannya yang pintar tersebut ke dirinya. WAOW !!!. LUAR BIASA. Dengan mudahnya yang "tidak pintar" bisa mendapatkan akses jawaban teman "yang pintar" berdasarkan "doktrin" gurunya. Bagaimana jika, anak yang pintar itu sebenarnya tidak tidak berintelegensi tinggi tapi berkat kerja kerasnya ia menjadi anak yang berpresrasi ? Adilkah hal itu untuk anak yang sudah bekerja keras untuk kesuksesannya sendiri ?. Kerja kerasnya, jika pendapat penulis benar, tidak dihargai sama sekali.

Tifosi liga italia memang punya semboyan yang menjunjung hasil dibandingkan proses. Meskipun demikian, mereka masih bisa jadi juara dunia. Pemain yang meruput disana masih di incar dengan harga tinggi oleh tim-tim eropa.

Bagaimana dengan pendidikan di Indonesia ?. dengan "prinsip" yang kurang lebih sama apakah hasil yang diberikan sama juga ?.

apkah hal ini membuktikan adanya kegagalam dalam pembentukan moral yang baik di masyarakat yang bisa memicu munculnya banyaknya kejahatan, seperti penjelasan dalam salah satu teori kriminologi ?.

Sabtu, 23 Januari 2010

Setiap Orang itu Unik

Hasil penelitian berikut mungkin bisa menjelaskan hal tersebut lebih lanjut.

Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dolores Albaraccin (profesor dibidang psikologi pada Universitas Illinois) dan William Hart (Universitas Florida) menhasilkan suatu kesimpulan yaitu 2 siswa mungkin merespon dengan cara yang cukup berbeda terhadap nasihat yang diberikan oleh gurunya bahwa mereka harus berusaha keras untuk keunggulan.

Seseorang mungkin terpacu untuk mencoba dengan lebih keras, dimana yang lainnya menjadi kurang termotivasi.

Mereka yang menghargai keunggulan (excellence) dan kerja keras umumnya akan beekrja lebih baik pada tugas-tugas khusus saat mereka diingatkan mengenai nilai yang mereka anut. Tetapi, saat suatu tugas dipresentasikan sebagai menyenangkan, peneliti melaporkan, individu tersebut sering bekerja lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang kurang termotivasi untuk berprestasi.

Penelitian tersebut juga menyarankan bahwa mereka yang “tidak tertarik secara kronis terhadap prestasi” (chronically uninterested in achievement) tidak menunjukkan hasrat untuk melakukan sesuatu dengan buruk. Prof. Albraccin mengungkapkan bahwa respon berbeda yang mereka tunjukkan mungkin secara sederhana merefleksikan fakta bahwa mereka memiliki tujuan-tujuan yang berbeda.

Pola pikir kompetitif, pola pikir prestasi menjadi de-motivator yang besar bagi orang yang tidak menghargao keunggulan sebesar mereka menghargai kesejahteraan, menurut Prof Albraccin. Lanjutnya, alasan dibalik ketidakinginan mereka untuk melakukan sesuatu dengan baik karena mereka ingin melakukan hal yang lain, mereka ingin menikmati hidup mereka sendiri, suatu tujuan yang tidak buruk.

Dalam 4 penelitian, para peneliti tersebut mengevaluasi bagaimana sikap partisipan terhadap prestasi yang mereka sebut “motivasi berprestasi kronis” (chronic achievement motivation) memengaruhi performa mereka pada berbagai macam tugas.

Para peneliti menemukan bahwa mereka dengan motivasi berprestasi tinggi bekerja lebih baik pada suatu tugas saat mereka diberikan “subconcious priming” ( kata pada layar komputer yang ditayangkan sekilas, sebagai contoh, yang terlihat terlalu singkat untuk diperhatikan secara sadar) yang berhubungan dengan kemenangan, kemahiran, atau keunggulan. Mereka dengan motivasi berprestasi yang rendah bekerja denag lebih buruk pada kondisi yang sama. Saat diberikan suatu pilihan, mereka dengan motivasi berprestasi tinggi lebih cenderung untuk kembali mengerjakan interrupted task, seperti puzzle mencari kata, yang kepada mereka dijelaskan bahwa tugas tersebut menguji kemampuan penalaran verbal mereka, dibandingkan rekan sebaya, yang cenderung untuk berpindah ke tugas yang dirasakan menyenangkan.

Tapi dalam suatu studi akhir, peneliti menemukan bahwa mereka dengan motivasi berprestasi tinggi bekerja lebih buruk pada word-search puzzle saat mereka diterangkat bahwa kegiatan yang dilakukan menyenangkan dan mereka telah diberikan primes prestasi seperti “excel”, “compete” atau “dominate”. Peserta lain yang tidak termotivasi untuk berprestasi melakukan kegiatan tersebut lebih baik pada kondisi yang sama.

Temuan ini juga menyarankan bahwa primes prestasi menghambat hasrat untuk bersenang-senang pada mereka yang termotivasi untuk berprestasi. Akan tetapi, mereka yang kurang memiliki memotivasi berprestasi, petunjuk yang sama terlihat memperkuat hasrat dan kemampuan mereka untuk mengerjakan tugas yang terlihat menyenangkan.

Sumber :

Diunduh dari “www.sciencedaily.com”, 21 Januari 2010 pukul 20.10

Sabtu, 16 Januari 2010

Jadi pengangguran memang tidak enak

Para pensiunan yang berpindah dari full-time work ke pekerjaan sementara atau part-time job mengalami sedikit penyakit dan mampu berfungsi lebih baik dari hari ke hari dibandingkan orang yang berhenti bekerja sama sekali. Hal tersebut diungkapkan dari hasil penelitian yang dilakukan di Amerika.
Penulis hasil penelitian merujuk perpindahan diantara karir dan pensiun secara penuh disebut "bridge employment" yang dapat berupa part-time job, self-employment or a temporary job. Hasil penelitian ini dilaporkan dalam Journal of occupational health psychology yang dipublikasikan oleh APA.
Menurut asisten penulis hasil penelitian, Mo Wang, PhD, dari Universitas Maryland, akan lebih banyak ditemui orang yang mempertimbangkan karyaman pasca pensiun (post-retirement employment) dan hal tersebut menunjukkan secara sekilas keuntungan bridge employement.
Dalam studi yang dilakukannya, Wang dkk mencari data pada national health and retirement yang disponsori oleh national institute on aging. Mereka menggunakan data dari 12.189 partisipan yang berumur antara 51-61 tahun di awal penelitian. Patisipan kemudian diinterview setiap 2 tahun selama 6 tahun periode yang diawali pada tahun 1992 mengenai kesehatan, keuangan, riwayat peekrjaan, dan bekerja atau pensiun. Dalam usaha untuk menilai kesehatan responden, seperti tekanan darah tinggi, diabetes, kanker, penyakit paru-paru, penyakit jantung, stroke , dan masalah psychiatric. Mereka tidak hanya mengontrol kesehatan mental dan fisik tetapi juga usia, sex, tingkat pendidikan, dan kesejahteraan finansial keseluruhan. Hasil penelitian menunjukkan pensiunan yang melanjutkan bekerja dalam bridge job mengalami lebih sedikit penyakit dan lebih sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan mereka yang pensiun secara penuh.
Para partisipan menjawab kuesioner kesehatan mental dasar. Hasilnya menunjukkan bahwa orang yang memilik pekerjaan post-retirement yang berhubungan dengan karir mereka sebelumnya melaporkan kondisi kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan yang pensiun penuh. akan tetapi, peningkatan kesehatan mental ini tidak ditemukan diantara orang yang bekerja diluar bidang karir mereka pasca pensiun. Penulis hasil penelitian mengatakan bahwa hal tersebut karena mereka yang mengambil pekerjaan di luar bidang karir mereka mungkin membutuhkan proses adaptasi dengan lingkungan kerja yang berbeda atau kondisi pekerjaan yang berbeda., dan oleh karena itu, mereka menjadi stress. Wang, juga menemukan bahwa pensunan dengan masalah finansial lebih cenderung untuk bekerja di dalam bidang yang berbeda setelah mereka resmi pensiun.
Sumber :
www.apa.org, "people who work after retiring enjoy better health, according to national study"


olahraga dan memori

Sekitar 3-4 tahun lalu, saat penulis pertama kali masuk di kelas 3 SMA, penulis pernah merasa “tersinggung” dengan kata-kata wali kelas yang tegas dan baik. Wali kelas penulis mengatakan biasannya ia mengalami kesulitan dengan anak-anak yang suka bermain sepakbola karena pemain bola otaknya di dengkul. Penulis bingung dan sedikit kesal. Teman-teman penulis yang suka bermain bola semuanya pintar dan penulis juga suka dengan olah raga ini meskipun tidak pandai memainkannya. sial...
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa ukuran hippocampus orang dewasa yang sehat secara fisik memiliki keuntungan sebesar 40 persen dalam spatial memory.Peneliti dari Universitas Illinois dan Universitas Pittsburgh menghitung cardiorespiratory fitness dari 165 orang dewasa diantara (109 diantranya wanita) yang berumur 59-81 tahun . Dengan menggunakan Using magnetic resonance imaging, peneliti melakukan sebuah volumetric analysis terhadap hipokampus kiri dan kanan subyek penelitian. Para peneliti juga menguji spatial reasoning subyek penelitian. Para peneliti menemukan hubungan signifikan diantara tingkat kesehatan jasmani dan performa mereka pada tes spatial memory tertentu. Mereka juga menemukan adanya hubungan yang kuat antara kesehatan jasmani dengan ukuran hipokampus. Hippocampus merupakan bagian dari lobus temporal otak manusia. Hippocampus penting untuk pembentukan memori. Orang yang hippocampusnya dipindahkan akan mengalami kehilangan kemampuan untuk menyimpan pangalaman paling baru didalam memori. Hippocampus juga berperan penting dalam spatial navigation dan memori-memori lain yang terkait dengannya.
Penelitian-penelitian juga menemukan bajwa hippocampus menyusut bersamaan dengan bertambahnya usia, sebuah proses yang beriringan dengan penurunan kognitif yang kecil tetapi signifikan. Penyusutan ukuran hippocampus berbeda-beda pada masing-masing orang.
Menurut professor psikologi Art Kramer dari universitas Illinois (peneliti yang melaksanakan penelitian mengenai hipokampus bersama dengan professor psikologi Kirk Erickson dari Universitas Pittsburgh), orang yang lebih sehat memiliki hipokampus yang lebih besar dan orang yang memiliki lebih banyak jaringan dalam hippocampus memiliki memori spatial yang lebih baik.
Menurut Kramer, pelemahan spatial memory merupakan salah satu penyebab menurunnya tingkat kemandirian orang yang lebih tua (sudah tua).
Keajaiban dunia olahraga.................
Sumber :
www.sciencedaily.com, “Physical Fitness Improves Spatial Memory, Increases Size Of Brain Structure”, diunduh pada tanggal 26 Februari 2009 pukul 12.39

Untuk Kakek nenek kita

Pelayanan secara sukarela (Volunteer service), seperti men-tutor anak-anak, dapat membantu older adults menghambat penurunan fungsi Otak. Hal tersebut didasari oleh penelitian yang dilakukan para peneliti dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health. Dengan menggunakan fMRI, para peneliti menemukan bahwa para older adults yang berpartisipasi dalam youth mentoring program mengalami peningkatan dalam area otak yang mendukung kemampuan kognitif yang penting untuk perencanaan dan pengorganisasian kehidupan sesorang sehari-hari.

Studi yang dilakukan pertama kali tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa program social service seperti Experience Corps (program yang diadakan di Amerika Serikat yang dapat memberikan keuntungan tambahan kepada older adults yang berpartisipasi yaitu peningkatan kualitas hidup dan kemampuan kognitif. Studi ini dipublikasikan pada bulan desember dalam Journals of Gerontology: Medical Sciences.
Menurut peneliti Michelle C. Carlson, PhD dari Bloomberg School's Department of Mental Health and Center on Aging and Health, para peserta Experience corps mengalami peningkatan dalam pemfungsian kognitif dan hal tersebut diasosiasikan dengan perubahan yang signifikan dalam pola pengaktifan otak. Lanjutnya, kegiatan tersebut meningkatkan fungsi kognitif dan otak pada older adults.
Menurut Linda P. Fried, MD, MPH, dekan Mailman School of Public Health at Columbia University, penelitian tersebut menyarankan bahwa terdapat peran baru untuk older adults di dalam aging society yang dapat didesain sebagai sebuah win-win solution yang dipusatkan kepada kebutuhan kemasyarakatan yang penting dalam masyarakat, seperti kesuksesan anak-anak, dan secara bersamaan, kesehatan dan kesejahteraan older volunteers sendiri.
Jadi, mungkin daripada membuat panti jompo, kenapa tidak mencoba membuat program sosial yang mengikutsertakan para opa dan oma kita ?. Ada yang mau mencoba ?.


Sumber :
“ For Older Adults, Participating in Social Service Activities Can Improve Brain Functions”, www.sciencedaily.com, diunduh pada tanggal 16 Desember 2009 pukul 09.41

apakah kemampuan mengingat anak yang mengalami PTSD (Post-traumatic stress disorder) menurun ?

Menurut ilmuwan di Stanford University School of Medicine and Lucile Packard Children's Hospital , trauma psikologis meninggalkan jejak kerusakan pada otak anak. Penelitian yang dilakukan tersebut memberikan fakta langsung untuk pertama kalinya bahwa anak dengan sindrom post-traumatic stress menderita pemfungsian hippocampus yang lemah. Hippocampus sendiri adalah bagian otak yang menyimpan dan mengigat memori. Penelitian tersebut menjelaskan mengapa anak yang mengalami trauma berperilaku semaunya dan dapat meningkatkan perawatan bagi anak-anak yang mengalami trauma tersebut.
Stressor yang ekstrim seperti mengalami pelecehan (abuse) atau menyaksikan suatu tindak kekerasa dapat membuat anak-anak mengisolasi diri mereka dari keluarga dan teman, merasa dipisahkan dari realita, mengalami pemikiran yang membosankan mengenai trauma dan berusaha keras di sekolah. Menurut Carrion, associate professor of child and adolescent psychiatry at the School of Medicine and director of Stanford, “Post traumatic stress tidak hanya mengenai traumatic memories ; hal tersebut juga benar-benar memengaruhi aktivitas sehari-hari “.
Untuk mengobservasi bagaimana otak anak bekerja setelah trauma, Carrion dkk. Menggunakan fMRI untuk membandingkan 16 orang anak muda yang memiliki symptom PTSD dengan sebuah kelompok control yang terdiri dari 11 anak muda yang normal. Para peneliti men-scan otak para peserta selama pemberian tes memori verbal. Subyek membaca sebuah daftar kata-kata, kemudian melihat sebuah daftar yang serupa dengan kata-kata baru yang ditambahkan, dan mereka kemudian ditanya, kata mana yang ada di daftar yang asli (sebelum ditambahkan).
Hippocampus bekerja sama baiknya dalam kelompok control dan yang memiliki symptom PTSD saat daftar kata pertama kali diberikan. Akan tetapi, subyek dengan symptom PTSD membuat lebih banyak kesalahan pada bagian recall dari test tersebut dan menunjukkan kurangnya aktivitas hippocampus dibandingkan kelompok control yang melakukan tugas yang sama.
Subyek dengan fungsi hipokampus yang buruk juga kemungkinan besar mengalami symptom PTSD. Gangguan pada hippocampus secara kuat dikaitkan dengan "avoidance and numbing" symptoms PTSD, termasuk kesulitan mengingat trauma, merasa terpisah dari orang lain dan lack of emotion.
Menurut Carrion. Saat anak merespon trauma dengan menarik diri dari orang yang mencoba untuk menolong, orang tua terkadang salah mengartikan perilaku anaknya tersebut sebagai perilaku balas dendam (retaliate). Padahal, sebenarnya perilaku tersebut merepresentasikan kondisi overload yang dialami otak untuk mengendalikan rasa takut.
Apakah para anak-anak korban bencana alam di Indonesia mengalami penurunan fungsi memori ?. Jika ya, hasil penelitian ini perlu diperhatikan oleh para LSM, kelompok relawan, pemerintah, dan semua pihak yang peduli pada anak-anak korban bencana alam.

sumber :
www.sciencedaily.com, “Brain Imaging Shows Kids' PTSD Symptoms Linked to Poor Hippocampus Function”, diunduh pada 18 Desember 2009 Pukul 18.05
www.drdymphna.wordpress.com, traumatized child (foto), diunduh pada 19 Desember 2009 Pukul 01.05

supaya menang dalam adu penalti

Sepertinya adu penalti adalah momen yang ingin dihindari oleh setiap pemain sepakbola. Sudah bermain 90 menit lamanya plus babak silver goal selama 2x 15 menit, menang atau kalah hanya ditentukan melalui kurang lebih 5 kali percobaan tendangan di titik 12 pas. Tidak sedikit legenda sepakbola harus gigit jari saat melakukan adu penalti. Sebut saja, Roberto Baggio dan Franco Baresi (World Cup 1994), John Terry (Chelsea, Final Liga Champions 2008), Antonio Di Natale (Piala Eropa 2008), dsb, harus menunduk menahan air mata jatuh saat gagal mengeksekusi penalti. Lalu, adakah ada penjelasan mengapa tidak semua pemain bisa dengan mudah melalui babak ”neraka” ini ?.
Peneliti dari Universitas Exeter melakukan suatu penelitian untuk mengapa pemain sepakbola gagal mengekskusi penalti saat babak adu penalti. Mereka menunjukkan untuk pertama kalinya efek kegelisahan (anxiety) pada gerakan mata pemain sepakbola saat mengambil tendangan penalti. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa saat pegambil tendangan penalti gelisah mereka lebih sering melihat ke arah dan fokus pada posisi kiper yang terpusat di tengah. Berkaitan dengan koordinasi antara kontrol tatapan dan kontrol gerakan (motor), tendangan juga cenderung ke arah tengah yang membuat tendangan tersebut mudah untuk ditangkap.
Greg Wood dari University of Exeter School of Sport and Health Sciences mengatakan bahwa selama berlangsungnya situasi yang sangat (menegangkan) stressful, kita lebih sering terganggu oleh stimulus yang mengganggu dan focus kepada stimulus tersebut dibandingkan fokus kepada tugas yang akan dilakukan. Oleh karena itu, lanjutnya, dalam sebuah situasi adu penalti yang menegangkan, atensi pesepakbola cenderung diarahkan ke arah kiper dibandingkan ke arah optimal scoring zone (inside the post). Hal tersebut mengganggu sasaran tembakan dan meningkatkan kemungkinan tembakan diarahkan ke arah kiper, membuat tendangan menjadi lebih mudah untuk diselamatkan.
Untuk penelitian ini, para peneliti meminta 14 anggota tim sepakbola univeristas Exeter untuk menjadi peserta penelitian. Mereka diminya untuk melakukan 2 seri tendangan penalti. Pertama, mereka hanya diminta untuk melakukan tendangan sebaik mungkin untuk mencetak skor. Kemudian, para peneliti membuat seri yang kedua menjadi lebih menegangkan dan lebih mirip dengan adu penalti. Para pemain diberi penjelasan bahwa hasilnya akan dicatat dan di-share dengan pemain lain dan akan ada hadiah sebesar £50 untuk pengambil tendangan penalty terbaik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat gelisah, pesepakbola melihat penjaga gawang lebih dahulu dan lebih lama. Perubahan dalam gerakan mata membuat pemain lebih condong menendang kearah tengah gawang, membuatnya lebih mudah untuk diselamatkan oleh kiper. Para peneliti percaya bahwa dengan lebih menyadari dampak kegelisahan pada gerakan mata dan akibatnya terhadap akurasi tendangan para pemain, pelatih dapat mengatasinya melalui latihan.
Greg Wood mengatakan bahwa strategi terbaik untuk digunakan oleh pengambil tendangan penalti adalah mengambil posisi dan tendanglah bola ke gawang dan abaikan penjaga gawang dalam prosesnya. Berlatih strategi ini akan membangun koordinasi yang kuat anyta pergerakan mata dan tindakan-tindakan selanjutnya, membuat tendangan menjadi semakin akurat. Tambahnya, hal yang paling penting untuk mengatasi kecemasan selama dalam adu tendangan penalti adalah berlatih tendangan penalti. Skill mengambil tendangan penalti harus terasah dengan baik sehingga mereka (pemain sepakbola) kuat dalam menghadapi tekanan.

Tetap saja, Bola itu bundar.

Sumber :
www.sciencedaily.com, “Why England soccer team keeps losing on penalty shots”, diunduh pada 24 Desember 2009 pukul 08.16
www.bc.uk, diunduh pada 24 Desember 2009 pukul 16.23

weekend effect

Dari buruh konstruksi dan sekretaris hingga dokter dan pengacara, manusia mengalami mood yang lebih baik, vitalitas yang luar biasa, dan sedikit rasa nyeri dan sakit dari hari jum’at sore hingga minggu siang. Hasil penelitian menunjukkan, ”Weekend effect” tersebut sebagian besar dihubungkan dengan kebebasan untuk memilih satu aktivitas dan kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan orang yang disayangi.
Menurut Richard Ryan, professor psikologi di Universitas Rochester dan peneliti yang melaksanakan penelitian mengatakan bahwa, pekerja bahkan mereka dengan pekerjaan yang menarik dan memiliki status kerja tinggi, benar-benar merasa lebih bahagia di akhir minggu. Lanjutnya, hasil temuannya menunjukkan bahwa betapa pentingnya waktu bebas (free time) untuk individual’s well-being.
Penelitian ini melacak mood dari 74 dewasa, berusia 18-62 tahun, yang bekerja sedikitnya 30 jam per minggu. Untuk 3 minggu, partisipan dipanggil 3 kali selama sehari, pada pagi, siang, dan sore. Pada setiap panggilan, partisipan menyelesaikan kuesioner singkat yang menjelaskan aktivitas yang mereka geluti dan, menggunakan seven point-scale, mereka menilai perasaan positif mereka seperti kebahagiaan, suka cita, dan kegembiraan. Mereka juga menilai perasaan negatif seperti kegelisahan, marah, dan depresi. Gejala-gejala fisik stress seperti sakit kepala, masalah pencernaan, sakit pernapasan, atau kurang berenergi, juga diperhatikan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pria dan wanita serupa dalam menunjukkan secara konsisten perasaan yang lebih baik, baik secara mental maupun fisik pada weekend. Mereka merasa lebih baik tidak peduli seberapa banyak uang yang mereka buat, berapa jam mereka bekerja, seberapa tinggi pendidikan mereka, atau apakah mereka kerja di industri atau dalam kapasitas professional. Mereka merasa lebih baik baik itu mereka single, hidup bersama, bercerai, atau menduda-menjanda. Dan mereka merasa lebih baik tidak peduli usia mereka.
Untuk mengetahui secara pasti mengapa weekend hours sanagt ajaib, peneliti bertanya kepada partisipan untuk mengindikasikan apakah mereka merasa terkontrol atau autonomous dalam tugas yang mereka lakukan pada saat waktu panggilan yang ditentukan peneliti dating. Partisipan juga mengindikasikan seberapa dekat perasaan mereka terhadap kehadiran orang lain dan seberapa kompeten yang mereka rasakan mengenai diri mereka sendiri saat terlibat dengan aktivitas yang mereka lakukan.
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa dibandingkan dengan workdays, weekends di asosiasikan dengan tingkat kebebasan dan kedekatan yang leebih baik. Individu melaporkan lebih sering mereka terlibat dalam aktivitas yang mereka pilih dan menghabiskan waktu dengan anggota keluarga dan teman-teman dengan lebih intim. Yang mengejutkan, hasil analisis menemukan bahwa orang merasa lebih kompeten selama weekend dibandingkan saat waktu rutin kerja mereka.
Hasil penelitian tersebut mendukung self-determination theory, yang berpandangan bahwa kesejahteraan (well-being) tergantung kepada seberapa besar pemenuhan kebutuhan psikologis dasar seseorang akan autonomy, competence, dan relatedness. Peneliti menyimpulkan bahwa orang mengalami autonomy dan relatedness yang lebih besar yang berhubungan dengan kesejahteraan yang lebih besar.
Penelitian ini juga memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana lingkungan kerja dapat dibentuk untuk lebih mendukung kesejahteraan pekerja (wellness). Menurut peneliti, pada saat kehidupan sehari-hari, termasuk bekerja, memberikan sense of autonomy, relatedness, dan competence, kesejahteraan akan lebih tinggi dan lebih stabil, dibandingkan naik turun secara regular.

Sumber :
www.sciencedaily.com, “Weekend Effect' Makes People Happier Regardless of Their Job”, diunduh pada 14 Januari 2010 pukul 10.36